Sabtu, 14 April 2012

KUMPULAN CERPEN


AKHIR SEBUAH JANJI
Penulis: Yanti Sipayung


“Benarkah ini pesta pernikahan Habib?”

Para pemuda berpakaian rapi yang berdiri di dekat gapura berbalut bunga-bungaan itu, sama mengangguk menjawab pertanyaan seorang wanita berambut panjang yang baru saja datang.

“Yang wanita dari sana, Mbak,” Purnomo menunjukkan jalan sebelah kiri.

“Di sini yang pria.”

Langkah Mar terhenti.

“Tapi saya bukan mau menghadiri undangan. Saya hanya ingin bertemu dengan Habib, mempelai prianya.”

Empat pemuda yang bertugas menerima para undangan itu saling berpandangan.

“Boleh, kan?”

Mar mengayunkan langkahnya tanpa menunggu jawaban dari para lelaki yang menyambutnya dengan tampang heran.

“Habib….”

Seorang lelaki yang tengah bercakap-cakap dengan teman-temannya, terlonjak kaget melihat Mar telah berdiri tidak jauh dari tempatnya sekarang.

“Habib, ini aku, Mar.”

Habib menghela nafas panjang. Wajah sumringah yang sedari tadi terpampang berubah kecut tak karuan. Mereka yang mendampingi Habib pun tak kalah heran melihat perubahan pada diri sahabat mereka, begitu melihat perempuan berwajah sendu di depan mereka.

Habib memberi isyarat kepada teman-temannya. Mempelai yang baru saja melaksanakan ijab qabul itu mendekati sang gadis berbaju putih.

“Mar, maaf… Aku….”

“Tidak apa-apa kau tidak mengundangku. Aku tak mempermasalahkannya,” Mar menyalip ucapan Habib.

Habib mengembangkan senyum. “Bergabunglah dengan undangan yang lain. Anggap saja kau adalah bagian dari tamu yang kuberi undangan spesial.”

Mar tersenyum getir.

“Aku datang kesini hanya untuk menagih janjimu. Hanya itu.”

Habib memandangi wanita di depannya sangat lekat.

“Lupakah kau dengan janjimu?” sepasang mata sendu Mar berkaca-kaca.

“Mudah-mudahan kau tidak lupa dengan janjimu, Habib.”

Suasana dua hati yang mencekam di dalam ruangan itu tak mempengaruhi riuh meriahnya pesta yang tengah berlangsung. Mereka di luar sana tak paham bahwa salah satu aktor walimahan itu tengah dihinggapi rasa cemas yang tak karuan.

“Itu masa lalu, Mar. Sudah lama.”

“Maksudmu, kau melupakannya?”

“Mmm… aku… maksudku…."

“Maksudmu, kau tak melupakan janjimu? Begitukah, Habib?”

Habib menghenyakkan tubuhnya di kursi. Dijalinnya sepuluh jarinya dengan pandangan menerawang kebingungan.

“Kita pernah saling mencintai, Habib.”

“Semu, Mar. Itu hanya cinta semu.”

“Baik. Tapi apakah janjimu itu juga semu, palsu, penuh kebohongan?”

Habib terdiam tak kuasa menjawab.

“Kau telah berjanji, Habib. Berulang-ulang kau tegaskan, bahwa kau akan kembali kepadaku, menjemputku dan akan menyatukan cinta kita. Kau berjanji akan menikahiku,  membimbingku menjadi wanita muslimah untuk kemudian mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah,” bergetar suara Mar. Dua butiran bening jatuh ke pipinya.

“Mar, mengertilah… Maafkan aku. Kita tak mungkin bersama. Lupakan janji itu, Mar,” akhirnya Habib bersuara setelah lama dicekam bisu.

“Aku telah menikah. Baru saja aku mengucapkan ijab qabul. Seandainya kau hadir sebelum ini… ah…,” Habib membuang pandangannya ke arah kursi pelaminan dimana seharusnya saat ini ia duduk tersenyum menerima ucap selamat dari tetamu. Bukannya malah berdebat dan berkutat dalam masalah perasaan masa lalu yang sulit untuk dipecahkan.

“Dari dulu hingga kini, bahkan walau kutahu saat ini kau telah menikahi wanita lain, perasaanku kepadamu tidak pernah berubah,
Habib. Aku tetap mencintaimu dan tetap mendamba bisa menjalin tali cinta suci yang sesungguhnya denganmu dalam ikatan suami istri.”

Bisik-bisik ranum dalam beberapa menit. Dalam ruangan itu kini telah ditambahi seorang wanita yang berbalut busana indah, sangat berbeda solekan wajahnya dengan perempuan lain yang ada dalam perhelatan itu. Mendengar aroma perselisihan yang melibatkan suaminya, ia segera bergabung ingin mengetahui gerangan hal panas apa yang terjadi, hinggamampu mengubah suasana biru menjadi kelabu.

“Ini Nadia, Mar. Istriku,” Habib memperkenalkan wanita yang mendekatinya, “Nadia, ini Mar. Dia….”

“Aku calon istrinya.” Mar berkata tegas.

“Mar…,” memerah wajah Habib.

“Aku memang calon istrimu, kan? Kau sendiri yang mengatakannya. Kau yang berjanji, bersumpah setia akan kembali padaku, menjaga cinta kita dan menikahiku. Bukankah itu calon namanya. Kenapa kau menutupinya, Habib?”

“Mar, aku mohon pengertianmu. Aku telah menikah, aku telah berubah. Aku bukan Habib yang dulu.”

“Kau berubah menjadi pemuda alim, aku senang, Habib. Aku turut bersyukur Tuhan menunjukimu. Dengan menjadi seorang yang dekat dengan agama, aku berharap kau akan menjalankan perintah agamamu dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah menunaikan janji. Karena ingkar janji adalah salah satu ciri orang munafik, kan?”

Habib menyeka wajah dengan kedua tangannya. Semakin bingung ia karena kian tak terhitung berapa pasang mata tengah menonton pertikaiannya dengan wanita yang memang pernah ditinggalinya janji manis, di kampungnya dulu.

“Mar… aku mohon, mengertilah…”

“Aku juga memohon, Habib. Mengertilah perasaanku.”

“Kita tidak mungkin bersatu, Mar,” Habib berkata lirih.

“Apa yang tidak memungkinkan? Akidah? Asal kau tahu Habib, sedari kau mengucapkan janjimu, aku terus membuntutimu. Kupantau terus keberadaanmu. Awal kau berangkat dari kampung kita, bulan-bulan pertama kau meninggalkanku untuk bekerja, kau masih sering meneleponku untuk sekedar menanyakan kabar melepas rindu. Namun seiring berjalannya waktu, seolah ada kekuatan yang membelenggumu. Ada sesuatu yang melarangmu keras untuk mendekatiku. Ada sesuatu yang memerintahkanmu agar kau benar-benar menjauhi dan melupakan apa yang pernah ada pada kita dulu. Aku selidiki kenapa. Dan aku menemukannya. Bukannya membencinya, aku malah mencintai aturan itu. Aturan agama yang kini kuanut ternyata tidak melegalkan pacaran ala kita dulu. Aku mempelajarinya dan akhirnya memutuskan untuk berpindah keyakinan karena aku telah kadung jatuh cinta dengan aturan lengkap agama ini.”


Cerpen By: Martin Aleida



Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya. Tak dia pedulikan apa kata orang. Dia kelihatannya hanya mendengar dan mengikuti suara-suara yang selalu bergalau di dalam dirinya. Suara-suara yang tak bisa dijelaskan datang dari mana, namun selalu menggema dan memburunya untuk berbuat sesuatu bagi kemerduan suaranya.


Suatu ketika, kota nelayan kami gempar ketika dia bergabung dengan serombongan nelayan dan pergi melaut mendekati pinggang Selat Malaka. Dia bukannya benar-benar berniat mau menangkap ikan, tetapi hanya sekedar hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan itu menarik suara, ber-sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. Dia terpikat dengan irama sinandong yang dibawakan dengan nada tinggi untuk menitipkan kabar kepada anak-istri lewat angin tentang hasil tangkapan mereka seharian. Lagu itu mulai dilantunkan ketika perahu dikelokkan di tanjung yang kelihatan menjorok dari arus sungai, sekitar dua kilometer jauhnya dari kota. Tentu saja orang-orang tersentak mendengarkan suaranya yang bernada tinggi dengan alunan yang indah, tapi patah-patah, khas sinandong. Dengan begitu dia telah membuat sejarah, karena sepanjang usia seni suara yang sudah ratusan tahun, baru sekali inilah seorang perempuan yang melagukannya.

Alasan mengapa dia ikut melaut, katanya, karena kelompok kasidah yang berlatih seminggu sekali sudah tak memad ai untuk kebutuhan latihannya. Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satunya yang terdapat di kota kami. Oh Tuhan, untunglah niat itu dibenamkannya. Kalau tidak, oi makjang, apa kata orang? Seorang dara Melayu, anak haji pula, menyanyi di gereja!

Suara-suara yang berdesakan di dalam pikirannya membuat kamauannya seperti angin yang tak terkendalikan. Suatu ketika, matanya berapi-api mendengar kabar bahwa guru mengaji kami, Haji Maksoem, yang hafal Al Quran, dikabarkan memakan rio-rio, semacam jengkerik yang bersuara nyaring. Karena itulah mengapa suara sang guru begitu merdu, garing. Begitulah kata kabar burung itu. Aku tak tahu pasti apakah dia benar-benar keluar malam hari, sendirian membawa suluh, untuk mencari binatang penggirik itu, lantas menggoreng dan memakannya laksana udang. Yang jelas, alunan suara nya memang tak tertandingi. Dia menjadi juara seriosa maupun hiburan untuk seluruh kabupaten, dan setahun kemudian dia mengalahkan semua pesaingnya di tingkat provinsi.

Pada masa itu, belum ada gadis yang berniat meninggalkan kota kecil kami dan pindah ke ibukota provinsi sekalipun itu untuk kebutuhan mendesak, melanjutkan pelajaran, misalnya. Dia hanyut dibawa oleh suara yang berdesakan dari dalam dirinya sendiri dan nekad mengambil keputusan untuk pindah ke Jakarta, mengadu nasib sebagai biduan.

Suara dan gayanya menyanyi yang membuat orang terlena, ditambah nasib yang baik, tentu, dengan cepat melambungkannya ke puncak kesohoran. Kurang dari setahun dia sudah menjadi juara bintang radio tingkat nasional. Dia menjadi orang yang paling diburu wartawan. Matanya, yang bagaikan bintang yang tak kenal redup, dan bibirnya yang sensual bak delima kematangan, menghiasai berbagai majalah. Sungguhpun warna kulit majalah waktu itu cuma hitam-putih, namun tid ak mengurangi kejelitaannya.

Ketika tampil di Gedung Kesenian, presiden republik dan seluruh keluarganya datang menyaksikan. Dan manakala pertunjukan selesai, orang paling penting di negeri ini menyelinap ke belakang panggung untuk memberikan sekuntum mawar sebagai isyarat pujian akan suara dan penampilannya. Sesudah pertunjukan malam itu, beberapa kali dia diundang ke istana untuk menyanyi sebagai selingan acara resmi. Dan entah berapa kali pula presiden mengirim ajudan untuk menjemput sang biduan guna menemaninya sarapan pagi.

Suara-suara yang memburu dari dalam dirinya tiada pernah padam, memicu ambisinya untuk selalu paling atas. Sampai datanglah pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tanggga terakhir bagi kariernya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temann ya. Sang suami bertekad untuk menyembuhkan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segala-galanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya jadi tergantung pada obat. Dan, perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya.

Kupikir Marwah Juwita adalah biduan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Suaranya adalah puncak kemampuan seorang seniman mencurahkan bakatnya. Kalau mengalunkan suara, jiwanya benar-benar luluh dengan lagu yang dibawakannya, dan di atas panggung gerak tubuhnya mengisyaratkan betapa menderita sukmanya ketika mengalunkan lirik lagu yang melukiskan cinta yang patah, dan betapa menggelora pula hatinya menakala dia beralih ke lagu yang ringan suka cita. Aku menyesal tak memiliki satu pun piringan hitamnya. Kalau melintasi para pedag ang barang loakan yang bertebaran di ibukota ini, aku selalu teringat padanya, dan mencari-cari kalau mereka menyimpan barang sekeping piringan hitamnya.

Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengannya. Sampai pada satu senja, ketika aku sedang duduk menikmati kopi di kafe yang terletak di seberang Gedung Kesenian, tiba-tiba sepasang tangan meraba bahuku dari belakang.

Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memoles bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar.

"Pinora…!" katanya setengah berteriak menyebutkan namaku.

Aku terdiam beberapa detik sebelum ingatanku padanya membulat, dan kataku dengan mulut agak ternganga, "Marwah Juwita! Aku takkan pernah lupa." Dan kami berpelukan menenggelamkan kenang an yang bertimbun berpuluh tahun.

Setelah pertemuan itu, boleh dikatakan Marwah menjadi pengunjung tetap kafe yang terletak di seberang gedung pertunjukan di tepi Kali Ciliwung itu, tempat di mana para seniman dari berbagai bidang sering bertemu. Katanya, sudah lama dia mencari-cariku. Dia terutama tedorong mau bertemu setelah beberapa kali membaca puisi-puisi pendekku yang dimuat di koran-koran yang beroplah kecil. Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya akhirnya kalah juga pada suara-suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya. Suara-suara itu tidak mengenal usia. Ketergantungan pada obat penenang ternyata tak kuasa mempertahankan tali perkawinannya. Dia memilih menyerah pada desakan suara daripada terus menjadi seorang istri pingitan. Kini, dia hidup bersama putra sulungnya, seorang insinyur, yang tetap membujang.

Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Ka tanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan.

Bisa kurasakan bagaimana susah-payahnya dia menekan suara-suara yang berdesakan di dalam hatinya, yang menuntut semacam pengakuan bahwa pada suatu masa dia pernah menjadi yang terbaik dari semua orang yang bergulat di bidang yang sama. Namun, kini dia hanya sesosok tubuh yang renta. Tak bernama. Karena itu, dalam setiap ke sempatan selalu kuingatkan para seniman muda di sekelilingku tentang siapa wanita gaek yang bergigi palsu itu sebenarnya. Prestasi apa yang telah dia capai. Namun, upayaku tak banyak menolong. Buat para seniman muda itu Marwah Juwita tak lebih dari seorang janda tua yang ingin menunda kematian dengan membuang-buang waktu di sebuah kafe.

Suasana menjadi semakin buruk bagi Marwah. Suatu kali, dia muncul dengan membawa setumpuk sketsa di atas kertas-kerta folio. Rupanya, ketika berada dalam penanganan psikiater tempo hari, dia juga menjalani terapi khusus, melukis. Di antara sketsa itu ada satu yang mengesankan bagiku, yaitu lukisan tentang seorang ibu yang sedang mendekap anaknya sambil berlari melepaskan diri dari cengkeraman badai. Tetapi, buat para pelukis muda yang sempat melihatnya, sketsa-sketsa itu tak lebih berharga dari coret-coret anak kecil yang baru belajar menggambar.

Semingggu kemudian, Marwah datang dengan mengempit map. Dia menggeser k ursi dari meja kosong di sebelah dan duduk berjejer dengan seniman-seniman, yang dari segi usia, pantas jadi anak-anaknya. Seperti menahan malu dia membuka map itu dan mengeluarkan selembar foto dari situ. Di situ kelihatan Marwah Juwita yang baru berusia 22 tahun, diapit presiden dan istrinya. Meskipun Marwah berkali-kali menyebutkan gadis yang berfoto bersama Soekarno dan istrinya itu adalah dia, namun para seniman yang mengelilinginya cuma melengos. Seperti tak percaya. Atau mereka juga barangkali tidak begitu hirau. Atau mungkin juga mereka tidak kenal dengan Soekarno.

"Sudahlah Juwita," kataku membujuknya, "orang zaman sekarang memang gampang lupa." Dan matanya berseri-seri menahan kebahagiaan ketika kukatakan bahwa aku akan mencarikan teman yang bersedia mencarikan sponsor untuk memamerkan sketsa-sketsanya itu di satu galeri kecil.

Episode pada satu senja dengan selembar foto di dalam map yang diletakkan di atas meja kafe, dengan seniman muda yang tak acuh mengelilinginnya, begitu memukul perasaan Marwah, sehingga dua hari kemudian dia mengatakan kepadaku bahwa dia akan membawakakan foto kopi kliping dari sebuah majalah yang meliput kejuaran nasional seriosa tahun 1952, lengkap dengan foto sang juara, Marwah Juwita tentu, diapit dua penyanyi yang dia kalahkan. "Aku tak akan bosan mengingatkan anak-anak muda itu tentang sepenggal perjuangan hidupku," ucapnya.

Aku datang jauh lebih awal dari janji yang kami sepakati. Sebagaimana biasa, kupilih kursi yang paling dekat ke tepi Kali Ciliwung, sehinga aku bisa memandang lalulintas di seberang dengan leluasa sambil menghirup kopiku.

Ketika itu Teluk Jakarta sedang pasang. Air kali di bawah kakiku mengalir dengan berat. Tiba-tiba aku melihat dua lembar kertas yang putih bersih mengapung diseret air mendekati undakan batu di bawah kafe. Aku bangkit, menuruni undakan batu dan menyelamatkan kertas tersebut dari permukaan air. Lembar pertama merupak an foto kopi dari satu halaman penuh majalah Star Weekly tahun 1952, dengan tanggal dan bulan yang sudah tak terbaca. Walaupun halamannya sudah kabus, namun laporan lengkap majalah itu dari kejuaraan nasional seriosa masih bisa dibaca. Di tengah halaman terpampang foto Marwah Juwita, sang kampiun, dan dua penyanyi yang kurang mujur di kiri-kanannya. Sedangkan pada lembar yang satu lagi, yang dijepitkan pada kliping tersebut, terbaca tulisan tangan: "Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…"

Dua lembar kertas yang masih basah itu kulipat dengan hati-hati. Aku keluar dari kafe menuju perahu penyeberangan yang terletak kurang dari seratus meter di sebelah timur.

"Apakah Bang Ote menyeberangkan Mama tadi? " tanyaku kepada pemilik perahu.

"Ya. Dua kali dia menyeberang. Seperti orang kebingungan. Membawa segulung kertas. Waktu disapa, dia tak menjawab."

Dua hari berturut-turut mataku seperti berbulu menyimak koran-koran yang haus sensasi, mencari-cari di antara kalimat-kalimat mereka yang ditulis dengan tak berperasaan tentang seorang wanita tua yang tenggelam di Ciliwung atau menghembuskan nafas setelah ditabrak bus kota yang berlari dengan kejam. Aku juga menunggu kalau-kalau koran nasional yang berwibawa menuliskan obituari pendek tentang seorang biduan tenar tahun 1950-an. Tapi, aku tak menemukan nasib Marwah.

Hari ketiga setelah kliping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berperangko kepadaku. Di dalamnya terselip dua lembar kertas yang sama seperti yang kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya, pada kata-kata "Hanya seorang biduan…," stabilo merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan da ri seseorang yang menyesali diri.*
https://blogger.googleusercontent.com/tracker/736259937528376685-8191967978910428098?l=www.luqmansastra.com






Wajah Terakhir

Cerpen By: Mona Sylviana


MARIA mengambil sebatang. Meletakkan bungkus rokok di atas rok span abu-abu tua dari bahan wul tipis. Menyalakannya.
Trotoar yang berpayung langit sebening jendela rumah sakit itu ramai. Beberapa orang berdiri dekat tanaman pembatas. Sebagian lain duduk dekat lampu jalanan. Di tangan mereka batangan rokok juga menyala.
Seorang laki-laki berkulit sewarna batang pohon mendekat, “Have a lighter?”
“Ada.”
Maria menyerahkan pemantik yang diambilnya dari saku kemeja.
“Terima kasih. Ehm, kita tadi ketemu di ruangan dokter Foo kan?”
Maria mengangguk.
“Dari Indonesia? Maaf, saya susah bedain sama orang Filipin. Jakarta?”
Kepala Maria menggeleng. Terakhir kali, sebelas tahun lalu, kakinya memang hilir mudik di kota itu, tapi ia lahir dan besar di Singkawang. Jadi, Maria merasa tidak berbohong.
“Oh ya, saya dari Sunter. Jakarta.”
“Oh…,” Maria menarik ujung bibirnya. Sedikit mekar bagai ujung mahkota mawar.
“Papa saya masih kemo. Apa keburu ya kalau ke Lucky Plaza? Katanya dari sini tinggal naik bis. Enggak sampai lima menit.”
Maria mengangguk lagi.
“Oya, tadi saya ngobrol dengan… aduh saya lupa namanya.”
“Mei Lang?”
“Ya. Ya. Mei Lang. Saya enggak sangka dia dari Tebet. Mukanya… hmm. Singapur banget.”
“Cina?”
“Hmm, iya. Iya. Tadinya saya mau minta tolong dia jadi penerjemah papa.”
“Oh….”
“Papa enggak ngerti omongan dokter Foo, omongan susternya juga. Bahasa Inggris papa payah. Kalau ada yang nerjemahin kan nantinya papa bisa ke sini sendiri. Saya sih bukan enggak mau antar papa, tapi saya juga ada keluarga, takutnya nanti-nanti ada keperluan yang bentrok. Eh, taunya Mei udah ada banyak janji di Mount Elizabeth. Eh, bener kan Lucky Plaza enggak jauh?”
Maria mengangguk. Diambilnya botol air mineral. Tangan itu mengusap bintik-bintik embun di tubuh botol. Jemari lembab Maria membuka tutupnya. Mengisap sedotan pelan-pelan. Dan sepertinya laki-laki itu tahu kalau Maria tidak berniat menyambung pembicaraan. Dia menjauh. Berdiri dekat asbak sewarna rok span Maria, tidak jauh dari ujung jalan.
Maria tengadah.
Dahan trembesi berayun ringan. Matahari tidak seterik biasa. Dan dahi Maria melembab. Selembar daun jatuh ke pangkuan. Persis di atas bungkus rokok. Maria menjentikkan jari. Daun itu jatuh ke trotoar. Seorang perempuan berkaos singlet dengan tangan memegang rantai anjing berlari melintas. Mata Maria lekat. Pada perempuan itu hingga ia hilang di tikungan. Pada daun yang terseret sepatu ketsnya.
Daun robek itu menyentuh kaki laki-laki yang sedang menyalakan rokok kedua dengan sisa rokok pertamanya. Mungkin dia sungkan meminjam pemantik lagi.
Pasti. Tidak mungkin salah. Kulitnya sama persis. Hidungnya. Matanya. Sudah sebelas tahun. Rasanya baru kemarin.
Mata Maria memerih. Seperti ada ratusan semut hitam bersarang di situ. Migren mendadak menyambangi bagian belakang kepalanya. Peristiwa berlintasan. Maria menunduk. Memejamkan mata. Ia coba menghapus lintasan-lintasan peristiwa yang membayang di kelopak mata.Tapi masih juga ada.
Dahinya yang lembab semakin basah. Bibir Maria bergerak-gerak menyebut Bapa Kami. Keringat membesar. Setitik merambati hidung. Jatuh.
Maria celingukan. Dari balik dinding kaca toko dilihatnya langit menghitam ditutup asap. Percik api meletik dari kabel listrik.
“Ayo, Mar. Cepat! Lari.” Ratih menepuk pundak Maria. Ia tersentak.
Kaki Maria masih dipaku di lantai. Susah beranjak. Ratih cepat menyeret Maria. Tapi Maria menahan tarikan tangan Ratih, “Tas….”
“Gila. Tinggalin, Mar.”
“Tiket.”
“Mar! Kamu gila? Itu!”
Ratih membalik paksa tubuh Maria menghadap pintu depan. Pintu kaca depan hampir terbuka. Palang besi sedikit lagi jebol dari kaitan. Orang-orang mendorong. Berteriak. Mata Maria bersitatap dengan banyak mata di muka pintu. Mata-mata yang merah dan besar. Maria tidak penuh mendengar suara yang keluar dari mulut-mulut itu.
“Ayo!”
“A… apa?”
“Pake nanya! Enggak dengar?”
“Apa?”
“Gila ni anak! Lari, Maria. Lari.”
“Tapi….”
“Lu Cina tau.” Lidah Ratih berat berteriak di telinga Maria. Padangan mereka beradu. Mungkin karena air mata mengaburkan pandangannya, Ratih melihat mata Maria berkabut.
“Ayo….”
Tangan Ratih yang dibasahi keringat membetot pergelangan Maria. Ratih mengarahkan kaki ke tangga darurat. Mereka terus menerobos kerumunan teman-teman mereka yang juga berlari saling bersilangan. Beberapa kali mereka jatuh. Kepala Maria serasa meledak. Jeritan dan teriakan saling menabrak. Saling timpa.
“Sebentar, Tih. Paspor….”
Begitu saja Maria teringat buku kecil hijau itu.
Enggak mungkin ditinggal. Minggu depan aku ke Singapur. Hanya dua minggu. Hanya jaga toko. Tapi di Orchard Road. Ke luar negeri enggak pakai uang. Dapet bonus dua kali gaji. Enggak mungkin ninggalin tas di loker. Ada paspor. Tiket. Uang yang belum dikirim ke papa. Kunci kamar. Foto mama di depan kuil Surga Neraka….
“Mar!”
“Tapi….”
“Liat!”
Maria menoleh.
Batu dan kayu di tangan orang-orang menghantam pintu depan. Kaca etalase sebelah kanan retak. Sebatang besi menghantam. Pyar. Pecahan kaca menghambur memenuhi lantai. Sebongkah batu menerjang manekuin. Roboh. Menimpa rak kemeja dan kaos.
Pintu terbuka. Orang-orang merangsek masuk.
“Bakar!”
Orang-orang dari luar dan di dalam toko itu bercampur. Seperti tawon yang sarangnya terbakar, saling adu tak terkendali.
Tangan Ratih terlepas dari pergelangan Maria.
Maria mengusap dahi yang sudah dibanjiri keringat. Jemarinya bergetar. Rokok jatuh. Maria menjejakkan hak sepatu di atas bara. Menekan. Kuat-kuat.
Maria berlari menuruni tangga darurat.
Berulang Maria hampir terjatuh. Hak sepatunya nyangkut di palang besi tangga darurat. Telapak tangannya tersayat pinggiran tangga. Maria terus turun. Terengah. Ikat rambutnya lepas. Rambut itu terburai. Sepatunya lepas.
Mereka makin dekat.
Maria hampir di undakan terakhir. Tiga lagi. Ia melompat. Kelingking kaki kiri terselip di retakan semen. Nafas Maria berkejaran dengan langkahnya yang pincang.
“Itu….”
“Allahu Akbar….”
“Bakar!”
Maria tidak sempat menoleh. Teriakan itu tidak datang dari orang-orang yang mengejarnya. Suara itu dari ujung gang. Terasa persis di liang telinganya.
“Hoi. Itu satu lagi.”
“Kalem. Bentar lagi juga dapet.”
“Giliran gua kan? Mulus….”
Maria berbalik arah. Lagi berlari. Di ujung gang, tembok menghadang. Maria naik. Kakinya terasa digayuti bola besi. Tak beranjak.
Maria jatuh.
Delapan laki-laki mengepung. Merangsek. Merapat. Tubuh mereka berbau jelaga. Tangan itu memegang pecahan botol. Mencengkeram linggis. Menggenggam batu. Tangan yang lain tidak membawa apa-apa. Tangan yang lain itu menarik kakinya. Maria terjengkang. Kepalanya membentur tembok. Membentur pinggiran tempat sampah.
Laki-laki itu.
Apa mungkin Maria melupakan wajah yang terakhir dilihatnya?
Keringat ngucur dari dahi. Mata Maria semakin perih.
Mata Maria memicing, tidak bisa terbuka penuh. Langit seperti puing kayu terbakar. Retak-retak. Kelam. Tampak celana panjang seragamnya koyak. Tergeletak. Tampak tali beha putus. Kancing kemeja menempel di pundaknya. Seperti ada ribuan paku berkarat menusuk selangkangan. Mata Maria kembali segelap malam.
Maria menarik nafas. Sudut matanya melihat pada laki-laki itu. Laki-laki beraut serupa wajah terakhir yang tak mungkin dilupanya itu masih di situ. Maria menghembuskan nafas. Panjang. Hingga tak ada lagi udara bersisa di dadanya. Sesak.
Apa aku bisa memberi pipi kiri setelah pipi kanan ditampar?
Maria lagi mengambil sebatang rokok. Meletakkan lagi bungkus rokok di atas rok span abu-abu tua. Menyalakannya. Tangan kanan menekan angka-angka di telepon mobil.
“Mei Lang, are you still in Dr. Foo’s room…. Ya, this is Maria…. Let me be an interpreter for the patient from Jakarta…. Alamak…. It’s OK…. Really, I’m OK…. Hmm, solid…. OK…. Thanks a lot….”
Maria mengambil botol air mineral. Bintik-bintik embun mencair. Tangan itu mengusap lingkaran bundar bekas pantat botol dekatnya duduk. Jemari lembab Maria membuka tutup botol. Mengisap sedotan pelan-pelan. Kanker stadium empat tidak akan lama. Apa salah kalau aku membantu, mempercepat? (*)











Surat Terakhir

Cerpen By: Novrizal
http://lakonhidup.files.wordpress.com/2011/12/surat-terakhir.jpg?w=426&h=288
DI malam yang hening, masih juga aku terusik dengan suara-suara hembusan napas yang megap-megap. Suaranya yang berat, seakan-akan tidak mampu untuk mengucapkan sebuah kalimat dengan sekali napas. Orang tua yang terkulai lemas itu memanggil dan memintaku untuk dibuatkan segelas kopi hangat. Yang tak kusuka, ketika dia memintaku untuk membeli tiga batang rokok di warung pada malam itu. Dia berusaha mencoba beranjak sendiri untuk membelinya dengan kondisi seperti itu apabila kuabaikan. Aku pikir itu tidak mungkin sebab berdiri saja dia tidak sanggup, apalagi berjalan.
Aku teringat saat ibu merawatnya dengan baik dan dia tampak ceria walau kondisinya tidak terlalu parah. Setahun lebih kepergian ibu ke Pontianak, Kalimantan Barat, dan tinggal di rumah Bang Reza. Dia selalu menanyakan kabarku dan ayahku melalui surat tanpa memaksaku untuk membalas suratnya. Orang tua itu hanya bisa tersenyum mendengar isi surat dari ibu yang aku bacakan sebab matanya yang katarak tidak bisa membaca dengan jelas huruf-huruf yang tertulis di dalam surat itu.
“Untuk kali ini jangan merokok lagi!” Aku melarangnya, tapi terlalu iba mendengar suaranya yang terus meminta saat aku menjauhkan dua batang rokok yang tersisa di meja. Aku hanya ingin yang terbaik selama dia menghembuskan napas. Dia meraih sebatang rokok; aku membantu mengambilkan, lalu menunggunya sampai tertidur. Aku pikir inilah saatnya bakti terakhirku untuk Ayah sebab aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara yang diberi tanggung jawab untuk merawat ayah sampai ibu kembali ke desa.
***
Keesokan harinya, banyak orang yang berdatangan ke rumah, di desa Tanjung Anom, Deli Serdang, Sumatra Utara (daerah tempat tinggalku). Sebagian yang lain menyiapkan tenda sederhana, sebagian lagi menyiapkan kursi-kursi dan meletakan bendera hijau di ujung jalan yang bertuliskan huruf Arab: inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Aku tak tahu harus berkata apa kepada ibu atas kepergian suami yang dicintainya itu. Tetes demi tetes, air mata telah membasahi wajahku yang kaku. Terdengar suara-suara merdu para sahabat yang membacakan surat Yasiin. Lantunan ayat-ayat suci itu membuatku merasa tenang dengan hela napas yang panjang.
Usai pemakaman, aku berpikir bagaimana cara mengabarkannya kepada ibu yang di seberang pulau itu. Sebelumnya pun aku tidak pernah membalas surat dari ibu karena pada saat itu pikiranku bercabang dengan urusan kerjaan dan merawat almarhum ayah sehingga tidak ingin meninggalkannya sendiri terlalu lama di rumah. Aku juga merasa bersalah karena tidak merawat dan menjaga suaminya dengan baik. Kepergian ibu bukan karena rencananya, akan tetapi keadaan yang memintanya sebab istri Bang Reza sedang hamil tua pada saat itu. Istri anak sulungnya itu adalah seorang yatim-piatu dan tidak memiliki keluarga selain keluarga suaminya. Oleh karena itu, dia meminta ibu datang untuk membantunya dan berharap ibu mengajarkan cara merawat bayi pertama mereka usai istrinya melahirkan.
***
Sebulan telah berlalu, namun tidak ada kiriman surat dari ibu seperti biasa setiap bulan. Kini, tinggal aku sendiri di rumah kayu itu. Terasa hampa karena tidak lagi mendengar napas ayah yang bengek. Kehampaan di malam itu membuat imajiku melayang; ayah menyusup dalam imajiku; dia memanggil dan menyuruhku membeli rokok; aku tidak membelinya karena aku tidak suka dengan kepulan asap yang memenuhi ruangan rumah dengan ukuran 6×6 meter itu. Lalu, aku tersentak dan melihat tempat tidur ayah yang kusut dan tak terurus. Sampai-sampai aku lupa, bahwa ayah sudah tidak ada lagi.
Pertama kalinya aku mengajak seorang teman untuk tidur di rumah, tapi masih saja terngiang suara ayah jelang tidurku. Merasa terganggu dengan sayup-sayup itu, aku mengajaknya bergadang semalaman. Begitu juga hari-hari berikutnya, aku tetap memintanya untuk tidur di rumah.
“Akhir-akhir ini kau aneh, ada masalah?” Dia bertanya sebelum tidur. Aku pura-pura tersenyum sambil bergurau untuk mengalihkan pertanyaannya. Jika diberitahu hal yang kualami, khawatir dia tidak mau lagi tidur di rumahku karena alasan takut. Untuk itu, aku tidak pernah bercerita tentang mimpi-mimpi yang sering hadir dalam tidurku.
***
Setengah tahun kematian ayah, surat dari ibu tak kunjung tiba. Aku benar-benar tidak mengetahui kabar ibu dan abang di sana. Aku juga tidak tahu cara mengabarkan pada mereka bahwa ayah telah lama meninggal. Sementara, aku bingung harus bertanya pada siapa sebab surat-surat yang dikirimkan oleh ibu sebelumnya hilang entah ke mana. Padahal, di surat itu terdapat alamat abang sebagai petunjuk jika aku mengirim surat ke sana.
Tiba-tiba perasaanku tak enak. Pak kepala desa memanggil dan memberikan sebuah amplop yang ditujukan untukku. Maklum, alamat yang biasa kami pakai adalah alamat rumah pak kepala desa karena rumah beliau yang paling dikenal di desa kami. Kemudian aku masuk dan duduk di tempat tidur almarhum ayah. Sebelum aku membaca tulisan di amplop, aku yakin surat itu dari ibu. Setelah membacanya, ternyata benar! Itu adalah surat dari ibu, tetulis: “Dari Ibu Sumarni untuk Rohis Ghozali”. Gembira tak terhingga ketika membaca tulisan di amplop itu. Aku merasa doa-doaku terkabul.
Sementara itu, aku membuka surat pelan-pelan. Kemudian membaca surat itu yang isinya:
Assalamualaikum, Rohis! Ini ibu dalam keadaan sehat walafiat. Ibu merindukanmu dan ayahmu. Bagaimana kabarmu dan ayah di Desa? Ibu selalu mengharapkan ayah semakin sehat dan dapat bekerja kembali. Oh, iya, bagaimana dengan kerjaanmu? Kira-kira sudah cukup tidak untuk ongkos naik haji ibu dan ayah seperti yang kamu cita-citakan?
Ibu hampir lupa mengabarkan anak pertama abangmu di sini. Keponakanmu itu sekarang berusia satu tahun dua bulan. Dia sehat dan lucu sekali, mirip seperti kakeknya di desa. Hmm… Ibu jadi teringat pada ayahmu, terkadang ibu sedih dan ingin kembali pulang. Tidak hanya itu, ada kabar duka bahwa si Rasti, istri abangmu, meninggal dunia saat melahirkan Aji di rumah sakit. Kesedihan abangmu membuat kesedihan ibu menjadi berlipat ganda pada waktu itu. Ibulah yang merawat Aji sampai sekarang karena abangmu kerja dari pagi hingga jelang malam.
Sebenarnya, ibu telah meminta abangmu untuk membuat surat, tapi dia selalu sibuk sehingga ibu tidak mau membebaninya. Ibu menulis surat ini sendiri. Ibu ingin menyuruh abangmu untuk mengirimkan surat ini ke desa seperti biasanya, tapi untuk saat ini lebih baik ibu yang mengirimkannya sendiri supaya ibu mengerti cara mengirimnya. Kalau ibu sudah tahu, selanjutnya ibu yang akan mengirim surat ke desa.
Ibu tidak tahu mau tulis apa lagi, yang jelas ibu sangat ingin bertemu dengan kalian. Sebenarnya ibu ingin sekali melihat ayahmu, bagaimana dia sekarang? Ya sudahlah, ibu akan pulang nanti dan bertemu dengan ayahmu. Bilang sama ayahmu kalau ibu sangat merindukannya. Jaga ayahmu dan baik-baik di sana ya, Nak!
***
Ada sepucuk surat lagi dari kakak.
Rohis adikku, ini Bang Reza. Maaf jika abang sebelumnya tidak sempat mengirimkan surat ini kepadamu. Abang terlalu sibuk karena setiap hari harus bekerja, maklumlah sebagai buruh pabrik. Jika satu hari tidak bekerja, maka gaji abang akan dipotong dan kebutuhan kami tidak akan terpenuhi.
Sekali lagi, sebelumnya abang minta maaf atas pemberitahuan ini. Sebenarnya, ibu sudah meninggal enam bulan yang lalu karena kecelakaan. Semula, abang tidak tahu kalau ibu pergi untuk mengirim suratnya dan meninggalkan Aji sendiri di rumah. Abang sangat menyesal dan merasa bersalah dengan kejadian itu. Abang minta maaf baru mengabarkannya sekarang. Seharusnya abang menyempatkan diri untuk mengirim surat itu seperti biasanya. Abang tahu kalau ibu sangat rindu pada kalian. Abang pun teringat, di desa tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Abang berharap surat ini sampai ke alamat tujuan dengan cepat. Abang sengaja menyambung isi surat yang dibuat ibu, karena pada saat kecelakaan itu, ibu masih menggenggam surat ini, lalu surat ini abang simpan untuk dikirim kembali.
Abang sudah mengumpulkan uang. Abang berharap kamu dan ayah dapat pergi ke Pontianak dan tinggal di rumah abang. Ada uang sebanyak 600 ribu rupiah yang abang selipkan di dalam amplop beserta surat ini. Abang harap uang itu bisa membantu untuk menambah biaya keberangkatan kalian. Kamu catat nomor telepon abang: 081363445522. Sesampai di Pontianak, kamu dan ayah segera hubungi nomor itu. Abang akan menjemput kalian nanti dan memberitahukan di mana makam ibu. Hanya itu yang bisa abang lakukan. Untuk yang ke sekian kalinya, abang minta maaf karena tidak bisa menjaga ibu dengan baik. Satu pesan abang, tolong rawat ayah di sana, ya!
Wassalam. (*)
 .
.























Pulang tanpa Alamat
Cerpen By: Abidah El Khalieqy
USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan dilekati keharuman yang sama.
“Kau ini mau ke mana, Tap?”
“Mudik!”
“Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?”
“Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di kampung ini.”
“Haa…!?”
Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu, keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap, melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium, selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.
Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu, Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu, disalaminya sepenuh hati.
Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus miliknya, karena jari itu tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan. Mengunci gerak lengan para korban.
Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu pun masih harus fitnes selama satu tahun.
Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.
Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.
Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ, semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres digenggamnya.
Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan, tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan, persaingan atau perseteruan.
Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.
“Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?”
“Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat padamu, apalagi bibimu itu.”
“Kalau Melinda, bagaimana?”
“Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik…!”
“Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar kayu agar tidak menjadi arang atau abu.”
Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.
Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri. Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi, kecuali Yang Maha Abadi.
“Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.”
“Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat.” Segap menegur sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.
“Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.”
Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.
“Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?”
“Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.”
“Siapa pun di sana, aku rindui semua.” Segap melotot mata. “Ah! Lama kali kau ini. Aku tinggal sajalah.”
“Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau belum?”
“Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu, bertemu Melinda, hahaha….”
“Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!”
Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam, lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam. Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan. Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang ngelindur.
“Aku mau pulang, Gap!”
“Ya. Kita memang mau pulang.”
“Gelap. Ada lorong berliku-liku.”
“Mimpi kali?”
“Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.”
“Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.”
Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.
Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur dan syukur jika terbangun esok hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.
Lindap. Kantuk pun nguap.
Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal. Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.
“Gelap, Gap. Gelap….”
“Hah! Apa?”
“Jubah hitam datang lagi.”
“Hah! Apa?”
“Aku pulang….”
Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi. Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.
Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan, nyanyian jangkrik dan belalang hutan.
Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam, tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.
Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa. Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang. Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.
Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa terpencil di pulau seberang.
Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja, siapa tahu malah kena.
/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit parah tak bisa jalan!/
Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi, bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.
Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.
“Sakit apa, Gotap?” tanya Jodil.
“Tak usah tanya.” Segap berdiri dan menjawab pelan. “Gotap mati di tengah jalan, di atas laut semalam.”
“Mati?” Serempak empat kawan mendelong.
“Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?”
Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata curiga, jika mata itu ada.
“Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga tahunan sejak Gotap ke ibu kota.”
“Terus, dibawa ke mana ini mayat?”
“Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.”
“Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?”
“Ah, aku juga tak tahu,” jawab Segap sedikit bingung, “kita lihat saja KTP-nya.”
Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian darah dengannya. Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.
Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap. Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan, atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?
Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai, Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.
“Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?”
“Aku setuju.”
“Bagaimana menurutmu, Jos?”
“Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?”
“Tak ada pilihan lain.”
“Ada. Kita lihat KTP-nya.”
Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman, ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.
“Sudah nasibmu, Kawan!”
Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap. Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku harus pulang nanti? (*)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar